Kelas
: 2EB22
Mata kuliah : Aspek Hukum dalam Ekonomi
Nama : Annisa Zahra
NPM : 21213168
BAB 4
HUKUM
PERIKATAN
4.1 PENGERTIAN
HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam
harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Di dalam hukum
perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu
adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telahdisepakati dalam perjanjian.
4.2 UNSUR PERIKATAN
Unsur-unsur perikatan ada 4, yaitu:
1.
Hubungan hukum.
2.
Harta kekayaan.
3.
Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4.
Prestasi
4.3 DASAR
HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang
menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.
Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi
karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela
( zaakwaarneming ) .
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
Perikatan,
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
Perikatan
yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
4.4 AZAS-AZAS
DALAM HUKUM PERIKATAN
Azas-azasnya
yaitu :
1.
Asas Kebebasan Berkontrak : Ps. 1338: 1 KUHPerdata.
2.
Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
3.
Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
·
Pengecualian : 1792 KUHPerdata 1317 KUHPerdata
·
Perluasannya yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
·
Asas Pacta Suntservanda asas kepastian hukum:
1338: 1 KUHPerdata.
4.5 HAPUSNYA
PERIKATAN
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu :
1.
Pembaharuan utang (inovatie)
Inovasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
2.
Perjumpaan utang
(kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan,
yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur
satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang
satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah
terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
3.
Pembebasan Utang
Pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan
itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur.
Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara
lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan
kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag
dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
4.
Musnahnya barang yang
terutang
5.
Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok,
yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
6.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu
adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat
diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1.
Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu
barang
2.
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan
atau dibebaskan dari tuntutan
BAB 5
HUKUM PERJANJIAN
5.1 PENGERTIAN PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal
1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
1.
Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan
tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum
atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para
pihak yang memperjanjikan
2.
Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau
lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu
sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
3.
Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat
unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam
perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
sendiri.
5.2 SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat
para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata
“sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang
menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya
paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324
BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya
tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.
Cakap untuk membuat perikatan; Para pihak mampu
membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak
telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan
bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan
3.
Suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis
objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang
dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang
yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika
dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.
Suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari
suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa
causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan
perjanjian dapat dibatalkan.
Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai
obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Misal: Dalam melakukan
perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan
suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
1. TPK sepakat untuk
membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk
menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap
kedua belah pihak. TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau
karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
2. Barang
yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
3. Tujuan perjanjian
jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu Pasal
1331 (1) KUH Perdata: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak
melakukan wan prestasi yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain
berupa ganti-rugi
2. Dilakukan pembatalan perjanjian
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya perkara jika sampai berperkara
dimuka hakim
Pedoman penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1. Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak
diperkenankan menyimpangkan dengan penafsiran.
2. Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus
diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh arti
katakata.
3. Jika janji berisi dua pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang memungkinkan janji dilaksanakan.
4. Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka
dipilih pengertian yang selaras dengan sifat perjanjian.
5. Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa
yang menjadi kebiasaan.
6. Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya.
5.3 AKIBAT PERJANJIAN
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas
kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang
sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati
hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian
kepada pihak ketiga.
5.4 BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian berakhir karena :
1.
Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu
tertentu
2.
Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian
3.
Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa
4.
Tertentu maka persetujuan akan hapus; Peristiwa
tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam
Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana
debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan
adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa
bumi, banjir, lahar dan lain-lain.
Keadaan
memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana
debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh
karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat
keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a.
debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
b.
kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang
disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c.
keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu
harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau
menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan
tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak
mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan
kewajiban kreditur dan debitur.
d.
pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara
misalnya perjanjian kerja
e.
putusan hakim
f.
tujuan perjanjian telah tercapai
g.
dengan persetujuan para pihak (herroeping).
BAB 6
HUKUM DAGANG
6.1 PENGERTIAN HUKUM
DAGANG
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur
hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum
dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal
sebagai hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar
abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan
diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa
hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Ada beberapa macam pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen :
1.
Pekerjaan orang-orang perantara sebagai makelar,
komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
2.
Pembentukan badan-badan usaha (asosiasi), seperti perseroan
terbatas (PT), perseroan firma (VOF=Fa) Perseroan Komanditer, dsb yang
tujuannya guna memajukan perdagangan.
3.
Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas niaga baik
didarat, laut maupun udara.
4.
Pertanggungan (asuransi)yang berhubungan dengan
pengangkutan, supaya si pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan
asuransi.
5.
Perantaraan Bankir untuk membelanjakan perdagangan.
6.
Mempergunakan surat perniagaan (Wesel/ Cek) untuk
melakukan pembayaran dengan cara yang mudah dan untuk memperoleh kredit.
6.2 TUGAS PERDAGANGAN
Pada pokoknya Perdagangan mempunyai tugas untuk :
1.
Membawa/ memindahkan barang-barang dari tempat yang
berlebihan (surplus) ke tempat yang berkekurangan (minus).
2.
Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.
3.
Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa
yang berkelebihan sampai mengancam bahaya kekurangan.
6.3 JENIS PERDAGANGAN
Pembagian jenis perdagangan, yaitu :
1.
Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang.
a. Perdagangan
mengumpulkan (Produsen – tengkulak – pedagang besar – eksportir)
b. Perdagangan
menyebutkan (Importir – pedagang besar – pedagang menengah – konsumen)
2.
Menurut jenis barang yang diperdagangkan
a. Perdagangan
barang, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia (hasil
pertanian, pertambangan, pabrik)
b. Perdagangan
buku, musik dan kesenian.
c. Perdagangan
uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek)
3.
Menurut daerah, tempat perdagangan dilakukan
a. Perdagangan
dalam negeri.
b. Perdagangan
luar negeri (perdagangan internasional), meliputi : – Perdagangan Ekspor –
Perdagangan Impor
c. Perdagangan
meneruskan (perdagangan transito)
6.4 SUMBER HUKUM DAGANG
Hukum
Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1.
Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2.
Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu
peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan
dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7). Sifat hukum dagang yang merupakan
perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Hal-hal yang diatur
dalam KUHS adalah mengenai perikatan umumnya seperti :
1.
Persetujuan jual beli (contract of sale)
2.
Persetujuan sewa-menyewa (contract of hire)
3.
Persetujuan pinjaman uang (contract of loun)
Hukum dagang selain
di atur KUHD dan KUHS juga terdapat berbagai peraturan-peraturan khusus (yang
belum di koodifikasikan) seperti :
1.
Peraturan tentang koperasi
2.
Peraturan pailisemen
3.
Undang-undang oktroi
4.
Peraturan lalu lintas
5.
Peraturan maskapai andil Indonesia
6.
Peraturan tentang perusahaan negara
DAFTAR PUSTAKA