Kelas : 1EB22
Mata kuliah : Perekonomian
Indonesia
Nama kelompok:
1.
Annisa
Zahra (21213168)
2.
Dewi Nur Hayati (22213295)
3.
Firdina
Fildzza (23213502)
4.
Vinny
Juwanti (29213159)
|
|
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2014
|
|
KATA
PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat
kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan
kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni
al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang kehidupan perekonomian dari masa ke
masa yaitu mulai dari masa penjajahan, orde lama, order baru hingga ke masa
reformasi.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan
dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Bekasi, 1 April 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Memang ada sedikit
perbedaan yang cukup menjadi perhatian kita mengenai sejarah sosial dan sejarah
politik di Indonesia dibandingkan dengan sejarah perekonomian Indonesia pada
masa silam. Perbedaan itu terlihat dari kurangnya para peneliti ekonomi dan
sejarahwan dalam mempelajari sejarah ekonomi khususnya pada masa kolonial
Belanda. Padahal di negara-negara bagian Asia Selatan banyak sekali dilakukan
penelitian mengenai pengaruh kekuasaan kolonial Belanda terhadap situasi
ekonomi di saat mereka masih berkuasa di beberapa negara tersebut.
Sebagai contoh di negara
India. Menurut berbagai laporan penelitian dalam hal sejarah perekonomian
India, ternyata kebijakan-kebijakan di India saat ini banyak juga dipengaruhi oleh
hasil studi ekonomi pada saat Belanda masih menguasai India. Ternyata terdapat
berbagai dampak positif dari hasil penerapan menurut hasil penelitian
tersebut. Mungkin ini bisa menjadi
contoh bagi bangsa kita.
BAB II
ISI
1. Kehidupan
Politik Ekonomi masa Penjajahan Belanda
Saat Hindia
Belanda dipegang oleh tiga komisaris jenderal, kondisi keuangannya sangat
merosot. Selain kebangkrutan VOC, juga karena adanya pengeluaran yang besar
untuk menghadapi Perang Diponegoro dan Perang Padri. Permasalahan yang dihadapi
Belanda semakin rumit setelah Belgia yang menjadi saka guru industrinya
memisahkan diri pada tahun 1830. Lalu, apa dampak yang muncul di Hindia
Belanda?
Tugas untuk
mengatasi kesulitan perekonomian Belanda itu diberikan kepada Johannes van den
Bosch. Ia diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda dengan target untuk
meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi masalah keuangan. Salah satu
kebijakannya yang terkenal adalah sistem tanam yang kemudian dikenal dengan
tanam paksa (cultuurstelsel).
Daendels mewajibkan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian
(inatura) seperti kopi, tebu, dan nila. Sasarannya adalah Hindia Belanda bisa
mengekspornya ke Belanda untuk kemudian dijual ke Amerika.
Inti sari
konsep Daendels adalah menjadikan tanah jajahan sebagai tempat mengambil
keuntungan bagi negeri induk. Konsep itu didasarkan atas dua konsep yaitu wajib
atau paksa dan monopoli. Prinsip pertama pernah diterapkan VOC dalam bentuk verplichte leveranties (penyerahan
wajib) yang dikembangkan Daendels menjadi Preanger-Stelsel.
Penerapan sistem ini sangat membutuhkan perantara yang berasal dari penguasa
tradisional di daerah dan organisasi desa. Prinsip kedua diterapkan dengan
memberikan hak monopoli kepada Nederlandsche
Handels Maatschappij untuk mengurusi produksi pengangkutan dan
perdagangan hasil ekspor Jawa. Lalu, bagaimana dampak penerapan kedua prinsip
itu?
a. Kehidupan Ekonomi
Apabila cultuurstelsel itu
dilaksanakan dengan baik sesuai konsep, tidak terlalu membebani kehidupan
rakyat. Tetapi dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan. Mengapa? van den
Bosch menawarkan iming-iming atau perangsang bahwa para bupati, pegawai
Belanda, dan kapala desa akan mendapatkan culture
procenten yaitu bagian dari tanaman yang disetor sebagai bonus
selain pendapatan yang biasa diterima. Sesuai ketentuan cultuurstelsel, rakyat
diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor, luasnya
tidak lebih dari 1/5, waktu pemeliharaan tanaman tidak lebih dari masa tanam
padi, tanah tersebut bebas pajak, sisa hasil bumi di luar pajak diberikan
kepada petani, dan gagal panen ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dengan
mudah dilanggar karena adanya culture
procenten dan desakan kepentingan penguasa kolonial.
Selain harus
kerja rodi, petani juga kehilangan tanah-tanah suburnya, membayar gagal panen,
dan kehilangan sumber daya yang bisa memberinya penghasilan. Pada masa ini
kehidupan rakyat diliputi suasana penderitaan dan kesengsaraan. Wabah kelaparan
pun menjangkiti rakyat Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849).
Sebaliknya, para bupati dan aparat lokal bisa memperoleh bonus untuk memperkaya
diri. Mereka yang semestinya menjadi perantara kebijakan berubah menjadi bagian
dari penguasa yang menekan dan memaksa rakyat. Tidak aneh apabila para bupati
juga berperan sebagai mandor.
b. Kehidupan Politik
Kehidupan
politik di Hindia Belanda pada periode sistem tanam paksa adalah membuat
kebijakan yang bisa menyelamatkan krisis yang melanda negeri Belanda. Para
bupati dan bangsawan diberi kekuasaan yang lebih untuk bisa membantu program
pemerintah. Para bupati tersebut semakin berkuasa karena juga mempunyai
kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Kebijakan tersebut
menyebabkan jumlah pegawai kolonial bertambah banyak. Peran bupati yang tidak
lebih dari sekadar mandor pemerintah itu ternyata justru mengurangi wibawanya
di mata rakyat dan struktur di bawahnya.
Organisasi
desa yang semula mempunyai ikatan yang kuat berubah menjadi kepanjangan tangan
pemerintah kolonial. Karena, dari desalah seluruh pungutan pemerintah dari
masyarakat bisa dilaksanakan. Penetrasi kekuasaan kolonial ke dalam organisasi
desa sebetulnya membawa perubahan tetapi di sisi yang lain juga memperkuat
kekuasaan tradisional dari kepala desa. Dampaknya adalah rakyat menghadapi dua
bentuk penjajahan yaitu dari pemerintah kolonial dan dari penguasa lokal sejak
raja, bupati/adipati, hingga bekel/kepala desa.
Mobilisasi
yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial itu ternyata efektif untuk mengeruk
keuntungan dan merekonstruksi perekonomian Belanda. Hanya saja, penyimpangan
yang terjadi di dalam pelaksanaan cultuurstelsel
itu juga membawa reaksi dari berbagai kalangan. Kecaman datang dari
oposisi kolonial yang dipelopori oleh van Hoevell dan disusul oleh Douwes
Dekker.Fakta menyebutkan bahwa pelaksanaan cultuurstelsel
jelas mengeksploitasi penduduk pribumi baik tenaga maupun tanahnya.
Tanah-tanah yang semula milik pribadi harus lepas ke tangan swasta agar bisa
ditanami.
Dampak dari
munculnya kecaman itu adalah dihapuskannya secara bertahap beberapa jenis
tanaman seperti nila, teh, dan kayu manis pada tahun 1865. Tanaman tersebut
memang kurang memberi keuntungan pada pemerintah kolonial. Namun, secara
berturut-turut beberapa tanaman juga mulai dihapus seperti tembakau (1866),
tebu (1884), dan kopi (1916). Cultuurstelsel
mulai dihapus karena berhasil menutup defisit dan meningkatkan
kemakmuran bangsa Belanda.
Meskipun
menyisakan penderitaan bagi rakyat, namun cultuurstelsel
juga meninggalkan beragam prasarana yang bermanfaat bagi rakyat.
Selain mengenalkan beragam jenis tanaman baru, pemerintah kolonial juga telah
membangun jaringan transportasi kereta api, komunikasi, dan prasarana
perkotaan. Kota-kota yang telah berdiri sejak abad XIX tidak hanya menjadi
pusat perdagangan tetapi juga pemerintahan dengan segala kemudahan dan
pelayanan. Beragam kekuatan sosial, politik, dan kebudayaan yang ada di kota
memancing adanya urbanisasi dan perubahan sosial.
Kehidupan
rakyat mulai sedikit diperhatikan setelah kelompok etis Belanda mengusulkan
perbaikan kehidupan. Hal ini mereka tempuh setelah melihat keuntungan yang
diraih Belanda dan penderitaan yang dialami rakyat. Tidak aneh apabila pada
akhir abad XIX mulai bermunculan sekolah untuk rakyat. Meskipun semula hanya
untuk memenuhi kepentingan pemerintah (birokrasi dan perkebunan) serta swasta
kolonial, namun dalam jangka panjang hal itu memperluas terjadinya mobilitas
sosial. Banyak siswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang
bertemu di kota-kota besar untuk mengikuti pendidikan kolonial.
Sistem
pendidikan yang diadakan pemerintah kolonial itu ternyata justru melahirkan
kelompok elite baru yaitu bangsawan terdidik pada awal abad XX. Kelompok inilah
yang menjadi peletak dasar kebangkitan nasional. Melalui sekolah-sekolah
seperti OSVIA
dan STOVIA, para pelajar bisa mengenal bahasa Belanda dan membuka wawasan
mengenai beragam masalah kebangsaan. Kesadaran untuk hidup berbangsa pun mulai
masuk ke dalam dada para pelajar. Benih nasionalisme yang mulai tumbuh lalu
diaktualisasikan dalam bentuk organisasi pergerakan. Pada masa inilah, identitas
keindonesiaan mulai terbentuk dan menggantikan ikatan-ikatan tradisional.
2. Kehidupan
Politik Ekonomi masa Orde Lama
a.
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal
kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
1.
Inflasi yang sangat tinggi,
disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.
Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah
Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret
1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada
bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI
(Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori
moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat
harga.
2.
Adanya blokade ekonomi oleh
Belanda, sejak
bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
3. Kas negara kosong.
4.
Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain:
1. Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2. Upaya
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan
ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
4. Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
5. Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
6. Kasimo
Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian
akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
b.
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam
politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang
menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah
dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah
ekonomi, antara lain:
1. Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2. Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
3. Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4. Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
c.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli
1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan
tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
3. Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan
moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat
pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan
Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi
dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.
3. Kehidupan
Politik Ekonomi masa Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan
stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi
pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan
kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada
awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun. Setelah melihat
pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha
pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak
memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka
sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori
Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan
masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya
dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes
di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori
Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada
pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan, yaitu:
1. Kebutuhan pokok
2. Pendidikan dan kesehatan
3. Pembagian pendapatan
4. Kesempatan kerja
5. Kesempatan berusaha
6. Partisipasi wanita dan generasi muda
7. Penyebaran pembangunan
8. Peradilan.
Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola
umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang
disebut Pelita (Pembangunan lima tahun). Hasilnya, pada tahun 1984
Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan
penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat.
Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah
kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan
sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan
pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta
penumpukan utang luar negeri.
Disamping itu, pembangunan menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global,
Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara
drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
4. Kehidupan
Politik Ekonomi masa Reformasi
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam
bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
a.
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk
dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
1. Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2. Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam
pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor
berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional.
b.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden
Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga
BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran
subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan
kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi
masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor
utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor,
terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang
pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak
lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
Analisa Sejarah
Perekonomian Indonesia
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam,
pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa,
yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
1.
SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa
penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah
menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan
jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda
yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai
sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian
Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa
periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di
Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
a.
Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham
Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan
wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari
persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan
imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang
antara lain meliputi :
1. Hak
mencetak uang
2. Hak
mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. Hak
menyatakan perang dan damai
4. Hak
untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. Hak
untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC
sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa
seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun
1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di
Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang
dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum
membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie
(kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi)
dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar
harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan
jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan
hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua
aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi
oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan
VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan
pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel,
yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi
di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050
metrik ton. Namun, berlawanan dengan
kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda
justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi.
Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai
komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan
dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai
tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
1. Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
2. Penggunaan
tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
3. Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
4. Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche
Republiek). Republik
Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena
peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon),
kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di
Hindia Belanda.
b.
Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil
bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan
Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford
Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu,
dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang
produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang
menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya,
tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan
teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain
:
1. Pendapat
Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan
benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif
menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam
hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya,
agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus
(melebihi permintaan).
2. Pendapat
Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk
yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil
produksi.
3. The
quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar
dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir
kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya
antara lain :
1. Masyarakat
Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk
menghitung luas tanah yang kena pajak.
2. Pegawai
pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
3. Kebijakan
ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau
mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
c.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai
diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah
untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.
Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan
rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll.
Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi
Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah
penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di
Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan
pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada
masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan
menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan
harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan
dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik
Mataram--yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak
mendapat imbalan--dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten
(imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang). Bagi masyarakat pribumi,
sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi
aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka
mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya
bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu
meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa
masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke
Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi
lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan
kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel,
pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa
sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah
Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk
menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu
meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa
nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
d.
Sistem
Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah
peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang
penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang
tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih
tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada:
1. Keberadaan
pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola
perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai
buruh penggarap tanah.
2. Prinsip
keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos
tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan
mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
3. Laissez
faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas,
pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang
sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan,
terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
e. Pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu
kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang
dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam
struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi
bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan
militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati
prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil
yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur
oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai
seusai memenangkan perang Pasifik.
BAB III
PENUTUP
Indonesia terletak di posisi geografis antara
benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang
strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra,
yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka
ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah,
ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur).
Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad
pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah
di Barat (kekaisaran Romawi).
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya
wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan,
kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan,
sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di
masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderunglebih dominan. Namun dapat
dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan
sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Buku modul mata kuliah
Sejarah Pemikiran Ekonomi
Creutzberg, Pieter, dan JTM Van Laanen. 1987.
Ø
Sejarah Statistik Ekonomi
Indonesia. Yayasan Obor Indonesia:Jakarta.
Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan.1996.
Ø
Sejarah Perekonomian Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI:Jakarta.
Ø
Mustopo, M.Habib, dkk. 2005.
Sejarah 3.
Yudhistira:Jakarta